Aku sendiri lupa, kapan awalnya menyukai Kopi.

Tapi, aku takkan lupa sejak kapan aku mulai meminum kopi tak bergula alias original.

Yosss... Semenjak Hujan sang pembawa Berkah menetes di siang hari di antara kerumunan orang berjuang mencari rezeki.


***

Kopi sering aku temui setiap pagi bahkan hingga sore habis tertelan oleh malam. Namun aku bukan pecandu kopi saat itu, ketika wajahku masih gelepotan dengan kudapan berwarna putih merah jambu.

Hari itu usiaku masih sama denganmu, 4 tahun, bahkan lebih muda 1 bulan denganmu. Mataku hanya bisa mengawasi tanpa ingin tahu, minuman apa yang mengandung kudapan berwarna hitam dan di buang begitu saja di ujung lorong rumahku.

***

Waktu berjalan menyusuri deretan tahun begitu saja, meninggalkan sebuah tanda tanya tentang apa itu rasa.

Awalnya hanya menggoda dikala malam tiba, dengan bumbu yang memiliki rasa manis di tambah air yang bersuhu 63° Celcius di atas suhu normalku. Menemani seluruh tubuh yang berjuang membelah malam.

Entahlah, aku tak begitu ingat kapan waktunya. Tapi, hari itu ada mereka yang duduk dan menarikan ujung - ujung jarinya di atas kayboard bernada warna - warni.

***

Tahun silih berganti, rasa si kopi tetap saja mengandung beda arti. Apalagi ketika aku tak mencampur adukkan bumbu lain selain air bersuhu di atas normalku itu.

Kau tahu?
Pasukan biji kopi yang sudah berubah bentuk menjadi bubuk - bubuk bertaburan itu terasa lebih berwarna.
Bukan hanya setiap seduhannya , tapi juga aroma. Semuanya bercampur aduk menusuk lidahku seperti kembang api di tahun baru tahun lalu.
Meledak dan memancarkan warna warni dengan jenis karakternya. Rasanya telah membunuh pahit menjadi rasa yang sempurna.

Para tetesan hujan siang itu telah menjadi saksi, aku jatuh cinta dengan Kopi.
Tanpa Gula alias rasa Original.

Sejak hari itu, kopi memberikan cerita baru. Setiap cangkir yang kosong menghasilkan karya baru yang mengandung warna di kanvas kosongku.

Bumi, 16 Januari 2018
Bengi yang Pas untuk Ngopi.