![]() |
Sumber : Pixabay |
“Maksudmu? Kisahmu yang mana?” sahutnya dengan kaget dan membuat
dia batuk karena tersedak teh yang diminumnya.
Aku tak membalas, lebih ingin serius mengeringkan rambut dan
berharap hujan segera reda, sehingga aku bisa pergi. Namun ternyata, aku
membuka cerita itu lagi. Apalagi ini kesempatan terakhirku. Jadi, suka tidak
suka, aku harus katakan, meskipun cukup menyakitkan.
![]() |
Sumber : FLP Surabaya |
Negara Bertopeng, Surabaya – Pelatihan Pramuda Forum LingkarPena (FLP) Surabaya 2018 yang ketuju menghadirkan salah satu Blogger terkenal,
Fauziah Rahmawati. Wanita berkaca mata
ini memberikan materi dalam bentuk Power Point setelah pembukaan acara
dan tilawah yang dipimpin oleh salah satu panita pada Minggu (18/11).
Kritik kritik kritik...
Ini bukan suara hujan yang baru saja keluar dari sarangnya sang awan berwarna abu kegelapan, melainkan ini sebutan untuk protesan tanpa pandang kasaran atau halusan.
Kritik. Memang serasa sangat kasar jika diucapkan, apalagi dibandingkan dengan saran yang mengandung bahasa positif menurut beberapa orang. Jadi, bisa dikatakan kritik cukup menyakitkan. Dan itu benar.
Namun, anehnya, aku sangat menyukai kritik. Yah, walaupun bahasa yang dipilih kadang kasar tak karuan, namun itu kenyataan. Meskipun menyakitkan, tapi aku harus menelannya sampai lembut sehingga tidak menyebabkan komplikasi.
Bukan pertama kalinya aku di kritik masalah tulisan, seperti ketika aku mengikuti kelas novel pramuda FLP 2018. Aku lupa ini yang keberapa, lebih tepatnya aku tak pernah menghitungnya, mengingat sangat inginnya aku di kritik. Bukan tak menyukai pujian, namun, jujur saja, pujian lebih menyakitkan dibandingkan kritikan.
Aku memang membuat sebuah ide cerita yang bisa dibilang kurang apik, bukan bukan, tepatnya tak apik. Masih kacau, enggak jelas, masih samar, jadi feeling dari sang cerita enggak ada. Serasa nyawanya setengah - setengah meragukan.
But, i like this. Ketika di kritik oleh pemateri, pak Ma'mun namanya.
Bagiku, kejujuran ketika di kritik menentukan kualitas diriku. Menentukan siapa aku, dan bagaimana aku. Karena kadang kritik itu lebih condong ke fakta dari pada saran yang terkadang terkesan mengapik - apikkan meskipun dalamnya terdapat kritik yang mendalam.
Sebelumnya aku juga pernah di kritik oleh seorang penulis, Mbak Okky namanya. Ketika pelatihan nulis juga, namun ini nulis Esay. Meskipun koridornya beda, tapi intinya sama, tentang ide dalam sebuah tulisan.
Aku sakit hati? Dikit. Hahaha...Iya aku langsung kacau aja, seolah jam hidupku mendadak berhenti dan pikiranku semrawut. Mikir keras apa yang kurang baik atau mana yang harus di perbaiki sampai mana yang harus ku hilangi.
Tapi, jujur, dari situ muncul kecemasan baru bahwa aku tak bisa apa - apa. Baiklah aku sebut saja diriku bodoh. Kenapa menyebut diriku sendiri bodoh? Karena dari seluruh hal yang ku punya aku tak tahu apa - apa, aku tak menguasainya, jikapun tahu aku tak menjiwainya.
Tragis aja, di zaman modern yang serba bisa ini aku ketinggalan zaman. Aku terpojok di sebuah ruangan tanpaku tahu bahwa banyak perubahan, bahwa banyak kenyataan dan pastinya banyak kehidupan. Namun kenapa ku hanya berpikir sempit tak meredeka. Padahal dalam dunia menulis bebas aja mau nulis apa dengan cara yang tentunya terserah sang penulis. Tapi kudu berani ambil tanggung jawab juga ketika tulisan tersebut bermasalah.
krtikit, kritik, kritik. Dia menjadi menu favorit apalagi di tambah es teh di siang bolong.
Bumi, 06 November 2018
Nikmat sebuah kritik
Ini bukan suara hujan yang baru saja keluar dari sarangnya sang awan berwarna abu kegelapan, melainkan ini sebutan untuk protesan tanpa pandang kasaran atau halusan.
Kritik. Memang serasa sangat kasar jika diucapkan, apalagi dibandingkan dengan saran yang mengandung bahasa positif menurut beberapa orang. Jadi, bisa dikatakan kritik cukup menyakitkan. Dan itu benar.
Namun, anehnya, aku sangat menyukai kritik. Yah, walaupun bahasa yang dipilih kadang kasar tak karuan, namun itu kenyataan. Meskipun menyakitkan, tapi aku harus menelannya sampai lembut sehingga tidak menyebabkan komplikasi.
Bukan pertama kalinya aku di kritik masalah tulisan, seperti ketika aku mengikuti kelas novel pramuda FLP 2018. Aku lupa ini yang keberapa, lebih tepatnya aku tak pernah menghitungnya, mengingat sangat inginnya aku di kritik. Bukan tak menyukai pujian, namun, jujur saja, pujian lebih menyakitkan dibandingkan kritikan.
Aku memang membuat sebuah ide cerita yang bisa dibilang kurang apik, bukan bukan, tepatnya tak apik. Masih kacau, enggak jelas, masih samar, jadi feeling dari sang cerita enggak ada. Serasa nyawanya setengah - setengah meragukan.
But, i like this. Ketika di kritik oleh pemateri, pak Ma'mun namanya.
Bagiku, kejujuran ketika di kritik menentukan kualitas diriku. Menentukan siapa aku, dan bagaimana aku. Karena kadang kritik itu lebih condong ke fakta dari pada saran yang terkadang terkesan mengapik - apikkan meskipun dalamnya terdapat kritik yang mendalam.
Sebelumnya aku juga pernah di kritik oleh seorang penulis, Mbak Okky namanya. Ketika pelatihan nulis juga, namun ini nulis Esay. Meskipun koridornya beda, tapi intinya sama, tentang ide dalam sebuah tulisan.
Aku sakit hati? Dikit. Hahaha...Iya aku langsung kacau aja, seolah jam hidupku mendadak berhenti dan pikiranku semrawut. Mikir keras apa yang kurang baik atau mana yang harus di perbaiki sampai mana yang harus ku hilangi.
Tapi, jujur, dari situ muncul kecemasan baru bahwa aku tak bisa apa - apa. Baiklah aku sebut saja diriku bodoh. Kenapa menyebut diriku sendiri bodoh? Karena dari seluruh hal yang ku punya aku tak tahu apa - apa, aku tak menguasainya, jikapun tahu aku tak menjiwainya.
Tragis aja, di zaman modern yang serba bisa ini aku ketinggalan zaman. Aku terpojok di sebuah ruangan tanpaku tahu bahwa banyak perubahan, bahwa banyak kenyataan dan pastinya banyak kehidupan. Namun kenapa ku hanya berpikir sempit tak meredeka. Padahal dalam dunia menulis bebas aja mau nulis apa dengan cara yang tentunya terserah sang penulis. Tapi kudu berani ambil tanggung jawab juga ketika tulisan tersebut bermasalah.
krtikit, kritik, kritik. Dia menjadi menu favorit apalagi di tambah es teh di siang bolong.
Bumi, 06 November 2018
Nikmat sebuah kritik
Beberapa hari lalu, tepatnya hari Minggu, aku bertemu dengan salah satu penulis muda yang menurutku terbaik. Lalu Abdul Fatah namanya. Kami bertemu secara sengaja, karena ada pembelajaran kepenulisan bertema "PUISI" yang di adakan oleh FLP Surabaya untuk para calom Pramuda.
Ini bukan pertama kalinya aku bertemu seorang penulis muda yang bisa dikatakan welcome dengan kami seorang bocah - bocah pemula dalam dunia tulis menulis. Beberapa bulan lalu, tepatnya Desember tahun lalu, aku bertemu juga dengan Bang Ical , tak lain penulis buku "Gerimis Di Atas Kertas" dengan nama pena A. S. Rosyid.
Hari itu juga pertama kalinya aku bertemu banyak anak muda hingga tua yang tergila - gila, anggap saja begitu, dunia literasi. Kami dipertemukan tanpa sengaja di sebuah Workshop yang diadakan oleh Qureta dan APP Sinar Mas dengan tema "Kertas dan Peradaban".
Bukan hanya berkelana sejenak ke Pabrik kertas Tjiwi Kimia untuk mengetahui proses pembuatan buku hingga packing, tapi kami juga di ajak berkelana dalam kata, dalam rangkaian kalimat membentuk sebuah paragraf - paragraf cantik bernama "Esay".
Berkesempatan bertemu dengan Okki Madasari, salah satu mantan jurnalis dan penulis novel terbaik yang ku tahu. Sayangnya, hari itu, otakku mendadak mandek, sehingga aku merasa bukan aku, jadi, kesempatan mbak Okki berkomentar, banyak sekali PR yang harus ku garap.
Bertemu juga dengan CEO Qureta, Pak Luthfi Assyaukanie. Memaparkan beberapa hal tentang literasi, dan disaat itu juga aku merasa kacau, not good, mengingat diriku tak begitu suka dengan membaca, walaupun aku cukup menyukai menulis. Dan jika menulis, sumberku ya apa yang aku pikirkan dari hasil ngevideo dari sekitar hingga drama maupun film tontonan.
Mas Arif. Dia salah satu peserta dalam workshop yang dateng dari provinsi sebelah, Jawa Tengah kalau tidak salah. Dia adalah seorang guru dan seorang penulis. Sering malang melintang di beberapa media online. Dia mengaku, bukan pecinta buku alias tidak suka membaca awalnya, jadi dia mulai jatuh cinta ke dunia baca sejak kuliah, umur mungkin sekitar 23 an. Bahkan dia memberiku saran untuk menyukai membaca, dan umurku yang saat itu belumlah telat untuk jatuh cinta dengan dunia baca.
Bertemu dengan peserta lain yang cukup liar dalam masalah pemikiran dan cukup paham dalam bacaan. Hal ini jelas membuatku cukup malu, udah gede masih enggak suka baca, padahal pingin banget menghasilkan karya dari nulis. Jelas ini tidak seimbang.
Jadi PR ku yang utama adalah MEMBACA. Aku haru jatuh cinta dengan membca, seperti yang dikatakan oleh bang Ical beberapa hari lalu by DM IG. "Jadilah manusia yang merdeka, buka bebas, dan kuncinya ya di baca. Bahkan Allah perintahkan kita untuk membaca dengan menyebut nama-NYA. Iqra', ayat pertama yang turun kepada sang Nabi".
Aku masih ingat, aku pernah pinjam salah satu buku di perpustakaan sekolah waktu SMP, judulnya "Habis Gelap Terbitlah Terang", kalau tidak salah itu. Dan ternyata, aku mengabaikannya, aku meninggalkannya pada rak yang sama dikemudian hari. Tragis, ternyata diriku tragis.
Memang benar, aku pernah mengikuti lomba baca puisi waktu ada acara di sekolah pas SMP kelas tuju, bahkan aku juga sempat sakit dan masuk semi final kalau tidak salah, namun aku tidak pernah berpikir bahwa aku harus mencari sumber puisi lain untuk membuatku jatuh cinta dengan sastra. Meskipun aku pernah baca sepenggal puisi milik Chairil Anwar dan itu membuatku tertarik dengan puisi.
Pertanyaan siapa yang pernah mengikuti lomba baca puisi dari mas Lalu hari itu benar - benar membuatku flashback, mengingat dengan keras kenanganku dengan rangkaian kata dalam bentuk bahasa, entah cerita pendek hingga puisi yang menjadi materinya.
Meskipun aku juga pernah jatuh cinta dengan novel Tere Liye berjudul "Negeri Para Bedebah" dan membuatku ingin meniru cara penulisannya, ternyata cinta itu punah begitu saja. Dan, itu buku kedua Tere Liye yang kubaca setelah "Sepucuk Angpau Merah" beberapa tahun sebelumnya, sebuah novel pertama yang ku beli dari Gramedia Royal Plaza.
Rasanya itu bukan kedua kalinya aku berusaha membangun cinta kepada baca. Sebelumnya juga pernah, ketika aku jadi anak SMK, meminjam novel remaja milik teman sekelas, walaupun ujungnya Zonk.
Novel karya Pramoedya Ananta Toer juga pernah mendarat di tanganku, milik seorang teman. Sayangnya, aku hanya membaca beberapa lembar saja, namun aku berhasil membaca dua buku lainnya yang sampai tuntas tentunya, "Yakuza Moon" karya Shoko Tendo dan "Jokowi" yang kulupa siapa penulisnya, tetapi yang jelas, sampul bukunya berwarna oranye. Ada juga buku "Rentang Kisah" karya Gita Savitri yang kubeli di di PlayBook setelah ku tuntaskan membaca "Negeri Para Bedabah".
Rangkain cerita yang ku terima dari mereka yang sangat jatuh cinta dengan menulis dan pastinya baca, benar - benar membuatku iri, membuatku tersudut seperti barisan semut. Bahkan, kini sangat banyak, tidak banyak sih, cukup banyak buku mager di rak buku sudut jendela sedang menunggu giliran untuk ku baca. Aku lupa kapan mereka ada, yang jelas, mereka sangat sabar menungguku untuk menjamahnya.
Karena semua sudah terlanjur ke titik ini, kekacauan yang kubuat yaitu tidak terlalu suka membaca, maka aku harus membereskannya, dengan kata lain, aku harus jatuh cinta dengan baca, maka pasti otomatis, sumber bahasa alias kosa kata akan nambah akhirnya, dan bisa menjadi sumber kata ketika menyusun cerita.
Semoga, bisa bertemu dengan mereka lagi. Orang - orang yang jatuh cinta dengan dunia literasi dan memperjuangkannya. Dan di pertemuan itu, aku ikut serta memperjuangkannya, terutama untuk diri sendiri, bukan hanya orang lain.
Jadi, salah satu PR besarku kini adalah... Aku harus jatuh cinta dengan baca!
Bumi, 23 Oktober 2018
Dalam ruangan bersudut biru, berlampu bukan merah jambu, berbumbu air rasa garam ditemani rasa keinginan untuk jatuh cinta lagi. Masih pukul 23:30 WIB, dan aku harus memulainya dari diri sendiri. Oh Surabaya, Kau menjadi saksi bahwa literasi dalam diriku harus diperbaiki. Terima kasih kalian yang tersebutkan hingga tak tersebutkan telah mau menjadi cambuk untukku. Semoga kita bertemu kembali.
Ini bukan pertama kalinya aku bertemu seorang penulis muda yang bisa dikatakan welcome dengan kami seorang bocah - bocah pemula dalam dunia tulis menulis. Beberapa bulan lalu, tepatnya Desember tahun lalu, aku bertemu juga dengan Bang Ical , tak lain penulis buku "Gerimis Di Atas Kertas" dengan nama pena A. S. Rosyid.
Hari itu juga pertama kalinya aku bertemu banyak anak muda hingga tua yang tergila - gila, anggap saja begitu, dunia literasi. Kami dipertemukan tanpa sengaja di sebuah Workshop yang diadakan oleh Qureta dan APP Sinar Mas dengan tema "Kertas dan Peradaban".
Bukan hanya berkelana sejenak ke Pabrik kertas Tjiwi Kimia untuk mengetahui proses pembuatan buku hingga packing, tapi kami juga di ajak berkelana dalam kata, dalam rangkaian kalimat membentuk sebuah paragraf - paragraf cantik bernama "Esay".
Berkesempatan bertemu dengan Okki Madasari, salah satu mantan jurnalis dan penulis novel terbaik yang ku tahu. Sayangnya, hari itu, otakku mendadak mandek, sehingga aku merasa bukan aku, jadi, kesempatan mbak Okki berkomentar, banyak sekali PR yang harus ku garap.
Bertemu juga dengan CEO Qureta, Pak Luthfi Assyaukanie. Memaparkan beberapa hal tentang literasi, dan disaat itu juga aku merasa kacau, not good, mengingat diriku tak begitu suka dengan membaca, walaupun aku cukup menyukai menulis. Dan jika menulis, sumberku ya apa yang aku pikirkan dari hasil ngevideo dari sekitar hingga drama maupun film tontonan.
Mas Arif. Dia salah satu peserta dalam workshop yang dateng dari provinsi sebelah, Jawa Tengah kalau tidak salah. Dia adalah seorang guru dan seorang penulis. Sering malang melintang di beberapa media online. Dia mengaku, bukan pecinta buku alias tidak suka membaca awalnya, jadi dia mulai jatuh cinta ke dunia baca sejak kuliah, umur mungkin sekitar 23 an. Bahkan dia memberiku saran untuk menyukai membaca, dan umurku yang saat itu belumlah telat untuk jatuh cinta dengan dunia baca.
Bertemu dengan peserta lain yang cukup liar dalam masalah pemikiran dan cukup paham dalam bacaan. Hal ini jelas membuatku cukup malu, udah gede masih enggak suka baca, padahal pingin banget menghasilkan karya dari nulis. Jelas ini tidak seimbang.
Jadi PR ku yang utama adalah MEMBACA. Aku haru jatuh cinta dengan membca, seperti yang dikatakan oleh bang Ical beberapa hari lalu by DM IG. "Jadilah manusia yang merdeka, buka bebas, dan kuncinya ya di baca. Bahkan Allah perintahkan kita untuk membaca dengan menyebut nama-NYA. Iqra', ayat pertama yang turun kepada sang Nabi".
Aku masih ingat, aku pernah pinjam salah satu buku di perpustakaan sekolah waktu SMP, judulnya "Habis Gelap Terbitlah Terang", kalau tidak salah itu. Dan ternyata, aku mengabaikannya, aku meninggalkannya pada rak yang sama dikemudian hari. Tragis, ternyata diriku tragis.
Memang benar, aku pernah mengikuti lomba baca puisi waktu ada acara di sekolah pas SMP kelas tuju, bahkan aku juga sempat sakit dan masuk semi final kalau tidak salah, namun aku tidak pernah berpikir bahwa aku harus mencari sumber puisi lain untuk membuatku jatuh cinta dengan sastra. Meskipun aku pernah baca sepenggal puisi milik Chairil Anwar dan itu membuatku tertarik dengan puisi.
Pertanyaan siapa yang pernah mengikuti lomba baca puisi dari mas Lalu hari itu benar - benar membuatku flashback, mengingat dengan keras kenanganku dengan rangkaian kata dalam bentuk bahasa, entah cerita pendek hingga puisi yang menjadi materinya.
Meskipun aku juga pernah jatuh cinta dengan novel Tere Liye berjudul "Negeri Para Bedebah" dan membuatku ingin meniru cara penulisannya, ternyata cinta itu punah begitu saja. Dan, itu buku kedua Tere Liye yang kubaca setelah "Sepucuk Angpau Merah" beberapa tahun sebelumnya, sebuah novel pertama yang ku beli dari Gramedia Royal Plaza.
Rasanya itu bukan kedua kalinya aku berusaha membangun cinta kepada baca. Sebelumnya juga pernah, ketika aku jadi anak SMK, meminjam novel remaja milik teman sekelas, walaupun ujungnya Zonk.
Novel karya Pramoedya Ananta Toer juga pernah mendarat di tanganku, milik seorang teman. Sayangnya, aku hanya membaca beberapa lembar saja, namun aku berhasil membaca dua buku lainnya yang sampai tuntas tentunya, "Yakuza Moon" karya Shoko Tendo dan "Jokowi" yang kulupa siapa penulisnya, tetapi yang jelas, sampul bukunya berwarna oranye. Ada juga buku "Rentang Kisah" karya Gita Savitri yang kubeli di di PlayBook setelah ku tuntaskan membaca "Negeri Para Bedabah".
Rangkain cerita yang ku terima dari mereka yang sangat jatuh cinta dengan menulis dan pastinya baca, benar - benar membuatku iri, membuatku tersudut seperti barisan semut. Bahkan, kini sangat banyak, tidak banyak sih, cukup banyak buku mager di rak buku sudut jendela sedang menunggu giliran untuk ku baca. Aku lupa kapan mereka ada, yang jelas, mereka sangat sabar menungguku untuk menjamahnya.
Karena semua sudah terlanjur ke titik ini, kekacauan yang kubuat yaitu tidak terlalu suka membaca, maka aku harus membereskannya, dengan kata lain, aku harus jatuh cinta dengan baca, maka pasti otomatis, sumber bahasa alias kosa kata akan nambah akhirnya, dan bisa menjadi sumber kata ketika menyusun cerita.
Semoga, bisa bertemu dengan mereka lagi. Orang - orang yang jatuh cinta dengan dunia literasi dan memperjuangkannya. Dan di pertemuan itu, aku ikut serta memperjuangkannya, terutama untuk diri sendiri, bukan hanya orang lain.
Jadi, salah satu PR besarku kini adalah... Aku harus jatuh cinta dengan baca!
Bumi, 23 Oktober 2018
Dalam ruangan bersudut biru, berlampu bukan merah jambu, berbumbu air rasa garam ditemani rasa keinginan untuk jatuh cinta lagi. Masih pukul 23:30 WIB, dan aku harus memulainya dari diri sendiri. Oh Surabaya, Kau menjadi saksi bahwa literasi dalam diriku harus diperbaiki. Terima kasih kalian yang tersebutkan hingga tak tersebutkan telah mau menjadi cambuk untukku. Semoga kita bertemu kembali.

Aku memang tak suka ditengah keramaian. Jika terpaksa aku terlibat di dalam arusnya, aku hanya akan berjalan mengikuti alurku dan mengabaikan keributan yang dibuatnya.
Aku tak suka bukan berarti benci, aku tak suka bukan berarti anti bahkan memusuhinya. Hanya saja, aku kurang nyaman saja jika harus menjadi bagian dari keributan malam dan siang dari lautan manusia hingga kendaraan.
Namun, ada saatnya aku harus jatuh cinta, menyukai terlibat dalam kegaduhan yang ditimbulkan oleh keramaian. Bukan harus, tetapi secara alami saja, jatuh cinta dengan sang keramaian. Bahkan aku menganggap keramaian adalah sebuah penjara berjeruji suara dengan jenis bahasanya sendiri.
Kadang juga aku menganggap keramaian adalah bagian dari tubuh kehidupan yang tak bisa dipisahkan dari kenyataan. Kondisi ini juga mengandung makna sama dengan sepi, bukan kesepian tetapi suasan sepi. Kosong, hanya suara angin yang terdengar oleh indra peraba berbalut rasa di hati.
Ketika menulis, kadang suasana sepi dibutuhkan untuk menghidupkan mesin – mesin dalam diri untuk bekerja dan menghasilkan berbagai macam karya atau hanya sekedar beberapa kata yang tersusun dalam kalimat dan paragraf saja.
Aku mengatakan itu benar. Sepi memberikan suasan nikmat untuk membuat bidikan tepat sasaran. Kadang sang sepi juga berhasil membawa diri membongkar bongkahan – bongkahan batu untuk menemukan ide. Mengupasnya dalam dapur aksara dan memolesnya dengan tinta bernama kata sehingga dia mampu tampil dalam sebuah rasa berbentuk kalimat yang nyata.
Namun, terkadang, sepi tak berhasil memenangkan kompetisi perlombaan untuk memperoleh karya. Malah kadang dia membuat gaduh rasa untuk berperang dengan berbagai jenis ide yang timbul dari bermacam – macam suku. Dia menjadi pembunuh nomor satu dan menyisakan kekacauan saja.
Kondisi ini juga berlaku untuk suasana ramai penuh dengan kegaduhan yang mengandung jutaan pengganggu. Menulis dalam zona ini terasa tercekik, bahkan berubah menjadi mati seolah sang malaikat datang untuk menghampiri.
Terkadang keramaian adalah ladang terkaya yang berhasilkan memberikan buah ide dengan rasa manis berbungkus oleh jutaan warna bernama keruwetan. Seolah dia berhasil menenangkan seorang anak kecil menangis dengan memberinya permen dengan hiasan senyuman.
Aku mengakui, keramaian dan sepi tak bisa terpisah dari kehidupan setiap orang. Kadang sepi menjadi musuh tertinggi tapi terkadang keramaianlah musuh tertingginya. Bisa dikatakan, mereka adalah tangan dan kaki dari sebuah tubuh, jika tidak ada mereka maka sang tubuh tidak bisa hidup dengan normal.
Jika ditanya aku lebih menyukai sepi atau ramai, mungkin aku akan memilih sepi, tetapi ak juga tidak bisa menolak ramai. Karena mereka berdua adalah nyawaku, jeruji – jerujiku. Bahkan mereka adalah kegaduhan terindah yang pernah ada.
Dan ketika aku menulis di tengah keramaian, aku tetap menikmatinya, meskipun aku tidak terlalu menyukai ramai. Aku akan berdamai dengannya. Menggunakan caraku yang aku anggap tepat bahkan cukup mengganggu untuk meramu sebuah ide.
Suka atau tidak suka bukan sebuah pilihan yang harus di garis bawahi. Melainkan, itulah medan perang tersadis untuk memenangkan kekuasaan. Kau tidak akan lagi berbicara tentang suka atau tidak suka lagi, tetapi kau akan menjumpai kenikmatan dari sudut pandang yang berbeda tanpa meninggalkan siapa aku.
Meskipun kadang keramaian berhasil menyesatkanku dan merusak jalan cerita dalam peta pada pikiranku, tetapi karena dia juga, aku berhasil menemukan kembali si cerita menggunakan keramaian. Buka lari, pergi dan menemui sepi.
Begitu juga dengan sepi. Kadang aku cukup tidak suka, karenanya banyak peperangan di pikiranku demi memperjuangkan kata yang pantas untuk sebuah cerita. Bahkan dia kadang berhasil memboikot rasa nyamanku dengan kegundahan rasa, sehingga larva dalam gunung ide meluber dan mambanjiri pasukan kata.
Jadi menurutku, menulis ditengah keramaian atau sepi sama saja. Mereka sama – sama akan memberikan feedback kata yang sama meskipun dengan makna dan rasa beda.
Namun, semuanya tetap akan kembali kepada bibit yang ditanamnya pada niat. Pasti akan mengahasilkan buah enak jika dia berhasil meramu pupuk yang disesuaikan dengan musimnya, sepi atau ramai.
Bumi, 26 Agustus 2018 tepat pukul 20:00 WIB
Masih di tengah keramaian kata berselimut kopi mengandung polusi dalam pulau Wificorner.id
Pernah ada temen bilang . . . " Buatlah Blog, di rawat, mungkin suatu hari bisa dapat penghasilan dari sana". Kurang lebih itu katanya sekitar beberapa tahun lalu, sekitar tahun 2013 - 2014 an ketika aku ketemu dia.
Padahal hari itu, ketika di kasi saran model begitu aku sudah menjajal blog milik tetangga, hanya saja enggak tak urus alias aku hapus.
Aku memang tertarik sama blog, lebih tepatnya tertarik untuk njajal fitur yang dimilikinya seperti ketika aku menjajal satu per satu sosial media yang sedang booming pada masanya.
Disisi lain, aku tertarik untuk membuat blog karena ingin belajar nulis, rasanya keren aja ketika nulis di blog dan ada yang baca. Tapi sayangna, aku belum tahu, lebih tepatnya otakku belum menemukan topik apa yang sesuai dengan kondisi diriku alias topik yang aku kuasai.
Jadi bisa dikatakan, aku masih bingung mau nulis apa di blogku. Karena jika aku sudah memutuskan menentukan topik, maka aku harus membahasnya, bukan hanya sekedar nulis, tetapi tulisanku tersebut harus bernyawa, sehingga para pembaca juga menikmati tulisanku.
" Terus, kalau kau bingung menentukan topik, ngapain coba nulis di blog? Buang - buang waktu aja. Bikin spam internet aja!."
Mungkin itu pikiran beberapa orang.
Tetapi, aku tidak perduli itu, karena tujuanku nulis di blog adalah belajar nulis, dengan kata lain blog aku manfaatin sebagai media nulis, mengingat tak semudah membalik telapak tangan untuk bisa nulis seapik para penulis terkenal, seperti Tere Liye, Dee Lestari bahkan Pramodya.
Semuanya butuh proses, maka dari itu, aku anggap blog sebagai mediaku belajar nulis selain media sosial seperti Facebook dan Twitter yang kini sudah jarang ku buka hingga Instagram yang kini sedang hit dan menjadi satu - satunya media sosial paling aktif ku buka.
Memang benar, awalnya aku penasaran dengan Blog, awalnya begitu. Penasaran. Bahkan bukan hanya blog, tetapi juga media sosial lainnya. Bisa dikatakan, Aku mencobanya di awal kemudian aku tinggalkan ketika banyak pengguna lainnya mulai menjajal media sosial tersebut seperti Path.
Banyak akunku masih aktif hingga kini, meskipun aku tak pernah membukanya lagi, entah karena lupa pasword atau sudah tidak ada gairah untuk menjelajahinya lagi.
Tapi, rasanya itu tak tepat jika aku terapkan pada Blog. Karena aku ingin gunakan blog sebagai mediaku berbagi, mungkin ilmu atau pengetahuan yang ku punya kepada orang lain.
Jadi, rasanya aku akan tetap mempertahankannya meskipun aku jarang membukannya, bahkan update postingan.
Jika topik yang ku tawarkan tak sebaik topik milik para blogger terkenal dengan tema traveller (mungkin), maka izinkan aku meminta maaf dan sarannya. Apalagi tulisan yang ku buat masih sangat kaku dengan bahasa tak baku atau sok baku maka benarkan. Bisa dikatakan Kritik dan Saran silakan diutarakan.
Dan . . . Awalnya aku memang bingung, aku mau kasi judul blogku apa dan alamat apa, karena semua juga ditentukan olehnya, maka aku pikir lebih baik aku beri alamat dan judul di blog ini dengan tema yang tak terlalu ayu, Kehidupanku.
Namun, tak bisa dikatakan bahwa yang aku pos adalah seluruhnya adalah kehidupanku, karena ada beberapa yang memang penuh fantasi dari pikiranku atau kehidupan orang lain yang di olah oleh pikiranku.
Jadi, inilah blogku, media belajar nulisku.
Bumi, 11 Januari 2018
Tepat pukul satu dini hari.
Padahal hari itu, ketika di kasi saran model begitu aku sudah menjajal blog milik tetangga, hanya saja enggak tak urus alias aku hapus.
Aku memang tertarik sama blog, lebih tepatnya tertarik untuk njajal fitur yang dimilikinya seperti ketika aku menjajal satu per satu sosial media yang sedang booming pada masanya.
Disisi lain, aku tertarik untuk membuat blog karena ingin belajar nulis, rasanya keren aja ketika nulis di blog dan ada yang baca. Tapi sayangna, aku belum tahu, lebih tepatnya otakku belum menemukan topik apa yang sesuai dengan kondisi diriku alias topik yang aku kuasai.
Jadi bisa dikatakan, aku masih bingung mau nulis apa di blogku. Karena jika aku sudah memutuskan menentukan topik, maka aku harus membahasnya, bukan hanya sekedar nulis, tetapi tulisanku tersebut harus bernyawa, sehingga para pembaca juga menikmati tulisanku.
" Terus, kalau kau bingung menentukan topik, ngapain coba nulis di blog? Buang - buang waktu aja. Bikin spam internet aja!."
Mungkin itu pikiran beberapa orang.
Tetapi, aku tidak perduli itu, karena tujuanku nulis di blog adalah belajar nulis, dengan kata lain blog aku manfaatin sebagai media nulis, mengingat tak semudah membalik telapak tangan untuk bisa nulis seapik para penulis terkenal, seperti Tere Liye, Dee Lestari bahkan Pramodya.
Semuanya butuh proses, maka dari itu, aku anggap blog sebagai mediaku belajar nulis selain media sosial seperti Facebook dan Twitter yang kini sudah jarang ku buka hingga Instagram yang kini sedang hit dan menjadi satu - satunya media sosial paling aktif ku buka.
Memang benar, awalnya aku penasaran dengan Blog, awalnya begitu. Penasaran. Bahkan bukan hanya blog, tetapi juga media sosial lainnya. Bisa dikatakan, Aku mencobanya di awal kemudian aku tinggalkan ketika banyak pengguna lainnya mulai menjajal media sosial tersebut seperti Path.
Banyak akunku masih aktif hingga kini, meskipun aku tak pernah membukanya lagi, entah karena lupa pasword atau sudah tidak ada gairah untuk menjelajahinya lagi.
Tapi, rasanya itu tak tepat jika aku terapkan pada Blog. Karena aku ingin gunakan blog sebagai mediaku berbagi, mungkin ilmu atau pengetahuan yang ku punya kepada orang lain.
Jadi, rasanya aku akan tetap mempertahankannya meskipun aku jarang membukannya, bahkan update postingan.
Jika topik yang ku tawarkan tak sebaik topik milik para blogger terkenal dengan tema traveller (mungkin), maka izinkan aku meminta maaf dan sarannya. Apalagi tulisan yang ku buat masih sangat kaku dengan bahasa tak baku atau sok baku maka benarkan. Bisa dikatakan Kritik dan Saran silakan diutarakan.
Dan . . . Awalnya aku memang bingung, aku mau kasi judul blogku apa dan alamat apa, karena semua juga ditentukan olehnya, maka aku pikir lebih baik aku beri alamat dan judul di blog ini dengan tema yang tak terlalu ayu, Kehidupanku.
Namun, tak bisa dikatakan bahwa yang aku pos adalah seluruhnya adalah kehidupanku, karena ada beberapa yang memang penuh fantasi dari pikiranku atau kehidupan orang lain yang di olah oleh pikiranku.
Jadi, inilah blogku, media belajar nulisku.
Bumi, 11 Januari 2018
Tepat pukul satu dini hari.
Ini lanjutan tulisanku yang pernah ku posting sebelumnya berjudul "Baik".
Sering aku bertemu orang yang menghakimi orang lain seenaknya sendiri, lebih tepatnya aku sendiri kadang bersikap seperti ini.
Mengatakan orang lain baik atau tidak hanya dari sudut pandang, yaitu sudut pandangku saja. Aku tak berpikir membuat sudut pandang dari berbagai sudut yang berbeda. Padahal, setiap kondisi memiliki sudut pandangnya masing - masing dari banyak sudut, seperti sebuah dadu yang memiliki lima sudut terlihat dengan angka berbeda - beda.
Jika aku searching, bukan searching tapi baca makna baik dari KBBI, baik memiliki banyak definisi, tapi kali ini baik yang ku maksud adalah elok tak ada celah sama sekali.
Baik.
Sepatah kata yang harusnya terus orang percayai tanpa tapi. Bukan orang, tetapi aku sendiri, kan ini sedang menasihati diri, jadi untuk menyindir diri sendiri. Jadi, harusnya aku mempercayai seluruh orang di muka bumi ini baik tanpa terkecuali.
![]() |
Sumber : Pixabay.com |
Hari ini adalah umurku ke dua puluh tahun, lebih tepatnya dua puluh empat tahun kurang dua bulan setengah. Aku hidup seperti orang normal lainnya, memiliki anggota tubuh lengkap, memiliki fisik lengkap tanpa cacat sedikitpun, mungkin hanya pandanganku yang kini sudah minus satu saja.
Ok. Mengingat Pikiranku sedang campur baur, aku jadi bingung mau nulis apa. Apalagi banyak ekspresi yang lagi maraton merebut jari - jariku untuk kutulis, jadi makin bingung aku.
Sering kali orang - orang akan membuat rencana panjang lebar tentang hidup mereka, entah dimulai dari sebuah pendidikan atau dari sebuah pekerjaan yang membawanya untuk membuat sebuah bisnis hebat. Apalagi mereka yang memiliki usia sama sepertiku, berkepala dua di tahun 2017 ini.
Tapi aku, dengan entengnya mengatakan aku tak pernah tahu bagaimana plan detailku, hanya yang ada di otakku aku menginginkan ini dan itu. Mengingat hari ini aku berada di sebuah tempat penuh tanda tanya.
Aku sendiri lupa, kapan awalnya menyukai Kopi.
Tapi, aku takkan lupa sejak kapan aku mulai meminum kopi tak bergula alias original.
Yosss... Semenjak Hujan sang pembawa Berkah menetes di siang hari di antara kerumunan orang berjuang mencari rezeki.
"Kapan Menikah?"
Entah sudah berapa kali pertanyaan yang
berulang ini terdengar di telinga, bahkan terkadang pertanyaan sama di ajukan
oleh beberapa orang yang sama.
Banyak hal yang kau temukan ketika kau menjadi Perantau.
Bahkan hal kecil yang kadang menurutmu biasa tak penting bisa menjadi special dan berharga.
Di sini, kau di ajak belajar dari berbagai sudut pandang seperti sang mata angin. .