
Sejujurnya bertahan itu lebih sulit dari pada memulai.
Kadang kau harus berjuang mati - matian untuk bisa bertahan.
Bahkan berlari sekencangnya walaupun jalanan itu penuh duri. .
Memang benar, memulai itu sulit, terkadang seperti itu kenyataannya. Kau harus mengatur kembali semua jadwal, merubah banyak kebiasaan bahkan menata ulang pola pikir.
.
Tapi itulah kenyataanya. Kau harus merubahnya secara perlahan, memaksa diri bahkan disiplin tingkat tinggi atau tega pada diri demi kau bisa merubah semua sisi buruk itu. .
Gagal? Rasanya pasti terjadi. Beberapa hari berjuang, tapi semuanya kembali semula, pasti pernah. Bukan hanya kau saja, tapi mereka juga. .
Tapi, jangan menyerah, merasa tersudut bahwa semua berakhir.
Memang benar kau sudah kalah. Namun bukan berarti kau kalah selamanya.
Mungkin, ada sesuatu yang salah dan kau tak menyadarinya.
Perbaikilah. Mulailah lagi dengan rasa yang beda dengan mendalami makna demi makna. .
Teruslah berlari, tapi bukan hanya berlari begitu saja. Tapi menebar banyak hal manfaat di setiap jalan yang kau lalui. Dan yang pasti, ambilah berbagai macam kebaikan dengan jutaan syukur tanpa membenci. .
Ok???
.
#nkhana18 #bynkhana18
[caption width="640" align="alignnone"]
Sumber : Pixabay.com[/caption]
Rasanya setiap orang memiliki jalannya masing - masing. Bukan rasanya, tapi lebih tepat setiap orang memiliki jalannya masing - masing. Cara masing - masing untuk bertahan hidup.
Tak usah terlalu berpikir panjang dengan masalah ini, cukup lihatlah dan baca kenyataan yang ada disekitarmu. Bukankah setiap orang memiliki caranya sendiri untuk menentukan masa depan mereka?
Berdiam diri dengan tumpukan malas atau giat dengan kobaran semangat. Berlari sekencangnya atau hanya berjalan pelan seolah tak ada semangat. Semua itu kembali kepada masing - masing, bisa di katakan hak masing - masing manusia.
Pilihan mereka, sikap mereka dan apa yang mereka kerjakan sekarang adalah penentu masa depannya, siapa yang menanam maka dia yang menuai. Tapi, bukan berarti dia akan terlibat atau terpengaruhi oleh lingkungan sekitarnya, karena penentu masa depan seseorang adalah dirinya sendiri.
Era sekarang. Iya, zaman edan, sebagian orang ada yang menyebutnya begitu. Banyak yang mengatakan benar tapi kenyataan salah, dan rasanya hal ini di anggap bukan sebuah masalah apalagi ketika memperoleh imbalan atau hanya sekedar iming - iming uang yang dikatakan lebih berharga dari harga diri.
Bahkan, ada juga yang hanya sekedar mengikuti tren hanya demi mereka di anggap kekinian atau gaul (Yang menurutku seperti Garangan Ucul). Alasan ini sudah bukan menjadi hal tabu lagi rasanya. Demi terkenal mereka rela menjadi diri bukan mereka, mereka rela jadi orang lain dengan alasan sedang mencari jati diri.
Entah, aku memang tak begitu paham dengan apa yang dipikirkan jutaan bahkan miliaran manusia yang ada. Aku begitu mengerti apa yang ada di otak merek sebenarnya, hanya saja, aku menuangkan pikiran ini dari apa yang aku lihat, rasakan dan tumpukan pengalaman yang minim ini.
Memang benar. Sekarang ini beredar "GOOD NEWS" tentang "HIJRAH". Perpindahan dari 1 tempat ke tempat lain, hanya saja ini hanya kiasaan saat ini, mereka lebih mengartikan hijrah dari zaman kebodohan atau sering disebut dengan zaman Jahiliah ke zaman yang bener alias ikut aturan agama dengan cara belajar agama, entah otodidak, ikut majlis, mendengarkan ceramah online dan sebagainya. Jujur, aku sangat suka dengan kondisi ini, ketika seseorang memilih menjadi lebih baik dari sebelumnya, misalnya, dari yang tak berjilbab jadi berjilbab.
Namun, ketika kau tengok ke sisi lain, ke sisi - sisi lainya (maaf bukan maksud mencari kesalahan orang lain) hanya saja saya pernah bertemu beberapa orang yang memang mereka memakai jilbab, hanya saja jilbab yang mereka pakai hanya untuk ikuti tren saja, jika lelah mereka akan melepas. Mereka berjilbab bukan niat karena Allah, bukan Lillah, tapi demi di anggap agamis atau beragama dan di pandang orang lain terlihat taat. Tapi, hatinya tak taat, ada maksud tak apik di balik jilbabnya.
Bahkan, aku cukup terkejut. Benar - benar terkejut. Sempat bertemu seorang kawan, dia bertanya, sejak kapan aku hijrah? Aku bingung mau jawab apa, karena aku merasa di ajari mengenal Allah sejak kecil, di ajari ngaji, sholat, memakai jilbab dan beberapa hal yang bersangkutan dengan agama, di ajari baik dan benar. Dan ketika aku bertanya, memangnya sejak kapan hijrah? Katanya sejak SMA, karena banyak teman yang memakai jilbab, di waktu itu juga perlahan belajar sholat dan lainnya.
Ada juga kawan lain yang bertanya sama , aku juga menjawab sama. Dia juga bertanya, apakah pakaian yang ku pakai juga lebar dengan jilbab lebar dan sebagainya. Mungkin salah satu keinginanku adalah memakai pakaian lebar tak berbentuk, berhijab rapi di lingkungan kebanyakan Islam, yang mana semua memiliki agama sama. Hanya saja kenyataan mengatakan beda. Aku di lingkungan masyarakat yang tak semuanya muslim, wlaupun muslimpun kita juga kadang beda pendapat. Jadi, aku menyesuaikan penampilanku dengan lingkunganku, jika memang memungkinkan, aku akan memakai pakaian panjang, dalam artian berhijab panjang. Namun jika tidak memungkinkan, aku akan memakain pakaian yang umum, tetapi tetap berusaha menutup aurat, dan pastinya memakai jilbab.
Mungkin bagi sebagian orang, pendapatku atau pikiran ku itu salah, tapi, aku tak mau orang membenciku bahkan tak nyaman denganku hanya karena penampilan. Aku tak mau bertengkar dengan orang lain karena masalah sepele yang harusnya bukan sebuah masalah. Apalagi kita tinggal di Indonesia yang mana banyak agama, bukan hanya Muslim. Mungkin bagi sebagian orang akan mentoleri, iya bagi mereka yang paham benar, bagi mereka yang bukan cuma sok paham. Karena menghindari perdebatan, maka aku memilih yang sewajarnya.
Aku sempat sok juga, ketika ada sebuah kataman Al - Qur'an di rumah. Aku ikut serta dalam bagian para pembaca, walaupun bacaanku masih banyak yang salah. Ada tetangga yang mengatakan bahwa, sudah lama aku di tempat perantauan, tapi masih saja bisa baca Al-Qur'an.
Aku bertanya - tanya. Sebegitunyakah? Sperti itukah? Belajar untuk di lupakan? Sekedar ada lantas menghilang?
Bukankah belajar untuk selamanya? Terutama belajar agama? Untuk hidup hingga mati? Membaca Al-Qur'an bukankah salah satu amalan yang wajib? Bukan hanya sekedar belajr membaca lantas di lupakan? Bukankah sholat juga begitu? Sekali belajar untuk selamanya? Bukankan anak yang sudah balig harus dan wajib untuk shalat? Lantas, ini kenapa baru udah gede belajar shalat?
Ya Allah. Rasanya benar. Setiap orang memiliki caranya masing - masing. Hijrah dengan cara masing masing. Mungkin dulu belum jadi baik, Engkau jadikan baik, bahkan lebih baik dari mereka yang sudah beljar lebih lama. Engkau lebih pahamkan dari pada mereka yang sudah lama untu berusaha paham. Semua terjadi atas kehendakmu. Walaupun kami berusaha keras tapi Engkau tak izinkan, kami tak akan mampu, tapi ketika Engkau mengatakan iya, semua terasa mudah walauapun terlihat tak mungkin.
Semoga jalan yang kami pilih benar. Jika memang benar, bantu kamii bertahan, jaga kami hingga waktunya pulang. Jika kami masih salah niat, masih ada bengkok atau salah jalan, luruskan. Jangan biarkan kami salah jalan untuk kesekian kali. Jaga kami, dan beri petunjuk agar bertahan di jalan yang Engkau Ridhai.
Aamiin...

Rasanya setiap orang memiliki jalannya masing - masing. Bukan rasanya, tapi lebih tepat setiap orang memiliki jalannya masing - masing. Cara masing - masing untuk bertahan hidup.
Tak usah terlalu berpikir panjang dengan masalah ini, cukup lihatlah dan baca kenyataan yang ada disekitarmu. Bukankah setiap orang memiliki caranya sendiri untuk menentukan masa depan mereka?
Berdiam diri dengan tumpukan malas atau giat dengan kobaran semangat. Berlari sekencangnya atau hanya berjalan pelan seolah tak ada semangat. Semua itu kembali kepada masing - masing, bisa di katakan hak masing - masing manusia.
Pilihan mereka, sikap mereka dan apa yang mereka kerjakan sekarang adalah penentu masa depannya, siapa yang menanam maka dia yang menuai. Tapi, bukan berarti dia akan terlibat atau terpengaruhi oleh lingkungan sekitarnya, karena penentu masa depan seseorang adalah dirinya sendiri.
Era sekarang. Iya, zaman edan, sebagian orang ada yang menyebutnya begitu. Banyak yang mengatakan benar tapi kenyataan salah, dan rasanya hal ini di anggap bukan sebuah masalah apalagi ketika memperoleh imbalan atau hanya sekedar iming - iming uang yang dikatakan lebih berharga dari harga diri.
Bahkan, ada juga yang hanya sekedar mengikuti tren hanya demi mereka di anggap kekinian atau gaul (Yang menurutku seperti Garangan Ucul). Alasan ini sudah bukan menjadi hal tabu lagi rasanya. Demi terkenal mereka rela menjadi diri bukan mereka, mereka rela jadi orang lain dengan alasan sedang mencari jati diri.
Entah, aku memang tak begitu paham dengan apa yang dipikirkan jutaan bahkan miliaran manusia yang ada. Aku begitu mengerti apa yang ada di otak merek sebenarnya, hanya saja, aku menuangkan pikiran ini dari apa yang aku lihat, rasakan dan tumpukan pengalaman yang minim ini.
Memang benar. Sekarang ini beredar "GOOD NEWS" tentang "HIJRAH". Perpindahan dari 1 tempat ke tempat lain, hanya saja ini hanya kiasaan saat ini, mereka lebih mengartikan hijrah dari zaman kebodohan atau sering disebut dengan zaman Jahiliah ke zaman yang bener alias ikut aturan agama dengan cara belajar agama, entah otodidak, ikut majlis, mendengarkan ceramah online dan sebagainya. Jujur, aku sangat suka dengan kondisi ini, ketika seseorang memilih menjadi lebih baik dari sebelumnya, misalnya, dari yang tak berjilbab jadi berjilbab.
Namun, ketika kau tengok ke sisi lain, ke sisi - sisi lainya (maaf bukan maksud mencari kesalahan orang lain) hanya saja saya pernah bertemu beberapa orang yang memang mereka memakai jilbab, hanya saja jilbab yang mereka pakai hanya untuk ikuti tren saja, jika lelah mereka akan melepas. Mereka berjilbab bukan niat karena Allah, bukan Lillah, tapi demi di anggap agamis atau beragama dan di pandang orang lain terlihat taat. Tapi, hatinya tak taat, ada maksud tak apik di balik jilbabnya.
Bahkan, aku cukup terkejut. Benar - benar terkejut. Sempat bertemu seorang kawan, dia bertanya, sejak kapan aku hijrah? Aku bingung mau jawab apa, karena aku merasa di ajari mengenal Allah sejak kecil, di ajari ngaji, sholat, memakai jilbab dan beberapa hal yang bersangkutan dengan agama, di ajari baik dan benar. Dan ketika aku bertanya, memangnya sejak kapan hijrah? Katanya sejak SMA, karena banyak teman yang memakai jilbab, di waktu itu juga perlahan belajar sholat dan lainnya.
Ada juga kawan lain yang bertanya sama , aku juga menjawab sama. Dia juga bertanya, apakah pakaian yang ku pakai juga lebar dengan jilbab lebar dan sebagainya. Mungkin salah satu keinginanku adalah memakai pakaian lebar tak berbentuk, berhijab rapi di lingkungan kebanyakan Islam, yang mana semua memiliki agama sama. Hanya saja kenyataan mengatakan beda. Aku di lingkungan masyarakat yang tak semuanya muslim, wlaupun muslimpun kita juga kadang beda pendapat. Jadi, aku menyesuaikan penampilanku dengan lingkunganku, jika memang memungkinkan, aku akan memakai pakaian panjang, dalam artian berhijab panjang. Namun jika tidak memungkinkan, aku akan memakain pakaian yang umum, tetapi tetap berusaha menutup aurat, dan pastinya memakai jilbab.
Mungkin bagi sebagian orang, pendapatku atau pikiran ku itu salah, tapi, aku tak mau orang membenciku bahkan tak nyaman denganku hanya karena penampilan. Aku tak mau bertengkar dengan orang lain karena masalah sepele yang harusnya bukan sebuah masalah. Apalagi kita tinggal di Indonesia yang mana banyak agama, bukan hanya Muslim. Mungkin bagi sebagian orang akan mentoleri, iya bagi mereka yang paham benar, bagi mereka yang bukan cuma sok paham. Karena menghindari perdebatan, maka aku memilih yang sewajarnya.
Aku sempat sok juga, ketika ada sebuah kataman Al - Qur'an di rumah. Aku ikut serta dalam bagian para pembaca, walaupun bacaanku masih banyak yang salah. Ada tetangga yang mengatakan bahwa, sudah lama aku di tempat perantauan, tapi masih saja bisa baca Al-Qur'an.
Aku bertanya - tanya. Sebegitunyakah? Sperti itukah? Belajar untuk di lupakan? Sekedar ada lantas menghilang?
Bukankah belajar untuk selamanya? Terutama belajar agama? Untuk hidup hingga mati? Membaca Al-Qur'an bukankah salah satu amalan yang wajib? Bukan hanya sekedar belajr membaca lantas di lupakan? Bukankah sholat juga begitu? Sekali belajar untuk selamanya? Bukankan anak yang sudah balig harus dan wajib untuk shalat? Lantas, ini kenapa baru udah gede belajar shalat?
Ya Allah. Rasanya benar. Setiap orang memiliki caranya masing - masing. Hijrah dengan cara masing masing. Mungkin dulu belum jadi baik, Engkau jadikan baik, bahkan lebih baik dari mereka yang sudah beljar lebih lama. Engkau lebih pahamkan dari pada mereka yang sudah lama untu berusaha paham. Semua terjadi atas kehendakmu. Walaupun kami berusaha keras tapi Engkau tak izinkan, kami tak akan mampu, tapi ketika Engkau mengatakan iya, semua terasa mudah walauapun terlihat tak mungkin.
Semoga jalan yang kami pilih benar. Jika memang benar, bantu kamii bertahan, jaga kami hingga waktunya pulang. Jika kami masih salah niat, masih ada bengkok atau salah jalan, luruskan. Jangan biarkan kami salah jalan untuk kesekian kali. Jaga kami, dan beri petunjuk agar bertahan di jalan yang Engkau Ridhai.
Aamiin...

Pacaran?
Pacaran. Jangan pernah tanya ke aku bagaimana rasanya pacaran. Pasti aku akan jawab enggak enak. Hahha.. gue bohong. Hahaha. Antar ya dan enggak. Padahal pacaran itu enak, iya serius enak, iya enak, enak banget, aku aja ketagihan. Hahahha..
Percaya? Paling iya. Haiss,.
***
Ok. Sebenarnya dari dulu gue pingin banget yang namanya jalin hubungan dengan orang, kalo anak muda zaman sekolah nyebutinya pacaran ala cinta monyet. Jadi, pacaran di zaman sekolah. Kan kamu tahu, virus cinta merah muda zaman sekolah itu, banyak banget, pikirannya Cuma seneng. Hahha.
Tapi, kenyataanya. Aku enggak pernah pacaran selama sekolah. Cupu, bisa dibilang gitu kali ya. Cupu. Cupu soal cinta monyet. Hahah. Ketahuan deh.
Jadi, waktu SD beberapa puluh tahun lalu, aku masih enggak mikir yang namanya pacaran, pikiran ku masih kecil, paling sukannya ngolok – ngolok temen, pake kata cie, di cariin, dan sebagainyalah (Edisi zaman anak sd, tahulah kayak gimana). Padahal, zaman itu, deket sama temen laki juga iya. Why? Karena aku nyaman, lebih tepatnya enggak baper, hahahha. Aku mikirnya enggak penting pacaran di hari itu. Tapi, temen aku udah pacaran sama temen dan sama temen, jadi ceritanya bisa dibilang temen makan temen, bagaiamana enggak, temen perempuanku sekelas udah pernah macarin 2 temen laki – laki di kelas. Entah apa yang dipikirin hari itu, dasar bocah, tapi, yang aku tahu mereka ngotak – ngotakin kata cantik dan ganteng.
Bahkan ada juga yang mau pacaran sama tetangga sendiri, sedangkan aku mikir enggak tertarik buat pacaran apalagi sama tetangga. Hahahha.
SMP. Pacaran? Zaman itu. Enggak pernah juga, dasar bocah. Tertarik sama temen laki sih iya, tapi menurut ku itu kagum, karena ganteng, karena pinter, dan karena apa ya? Karena ikut – ikutan . hahaha.
Tapi sebenarnya hari itu, maksudnya waktu smp, aku dikenal tomboy, so, enggak ada yang berani ngomong suka, paling kalo suka Cuma ngajak berantem. Bahkan ada yang suka, tapi ngomongnya yang suka orang lain. Pikiran aja tu, penakut enggak tu laki. Paling karena mikirnya aku tomboy, takut aku hajar. Hahah. Aku tahu setelah beberapa hari, dari temen ku sebennarnya. Tapi aku menikmati suasana pertemanan aja sih. Tapi sebenarnya aku dapat pengakuan dari temen sekelas, iya pengakuannya udah telat, setelah pada lulus dan udah pada kerja, jadi ketika edisi dewasa. Dia bilang kalo eggak ada yang berani deketin aku hanya karena aku di kenal tomboy oleh temen – temen, takutnya aku ngamuk. Hahha. Menurutku itu sesuatu hal yang gila. Ternyata nyali mereka lebih kecil dari apa yang aku bayangin. Sorry, bukan maksud menyebutmu payah, hanya saja, kenapa enggak pada nunjukin lakimu. Eh.
Zaman itu juga, mereka udah biasa ngeliat temen pacaran , gandengan tangan, goda – godaan, bahkan denger rumor ciuman di dalam kelas. Sering juga denger alias ngeliat temen pacaran yang sering apel ke rumah pacaranya, dan pernah di kasi cerita kalo di marahin orang tuanya gara – gara main hp sampe malam hanya buat smsan sama pacaranya. Hahahah.. konyol.
Tapi itulah kenyataan. Jomblo is my life.
Dari pendapat orang yang mengatakan aku tomboy dan sebagainya rasanya membuat aku bersyukur. Why? Karena aku tak tejebak di antara hubungan antara kita. Dan enggak ngerasain sakit hati. Hahah. Thank to tomboy.
SMK. Lingkungan sekolah ku adalah lingkungan dimana banyak murid wanita dibandingkan pria. Iya, bisa dikatakan 90 % wanita, dan temen sekelas 100 % wanita. Jadi kesempatan suka sama temen sekelas enggak ada, tapi kalau suka sama tetangga kelas pernah. Hahahha. Eh ngaku.
Jadi sebenarnya aku suka hanya karena gara – gara dia senyum. Wwkwk. Pikirin tu, bagaimana rasanya terpesona. Dan gara – gara aku suka dan tertarik pada pria ini, hubunganku sama temenku ancur. Kita, maksudku dia jauhi aku karena aku di anggap saingan, bisa dikatakan dia suka sama si temen laki ku itu. Jadi, dia musuhin aku, itu kasarannya, tapi halusannya, dia njauhin aku. Tapi, aku enggak terlalu perduli, ngurusin hal yang beda itu, dia jauhin, waluapun kerasa sih, ada bedanya. Tapi, satu hal yang selalu aku lakuin, aku selalu bersikap baik, entah mereka anggap maupun enggak, karena sikap ku bukan ditentukan oleh dia, tapi oleh diriku sendiri. Jadi, walaupun dia masih terasa ngejauh sampai sekarang, tapi aku berusaha mendekat dengan niat baik, yaitu jalanin status sebagai temen, enggak mutus silaturahmi. Toh, musuhan enggak apik, mutus silaturahmi enggak boleh, dan yang pasti, temen adalah temen, dan selamanya akan menjadi temen. Waluapun dia musuhin kayak gimanapun, kita tetep temen.
Ok. Back. salah satu hal terkonyol yang pernah aku lakukan adalah ,engatakan suka pada pria ini, dia udah tahu. Dan tujuanku bukan untuk demi kita pacaran, tapi menjelaskan isi hati. Hahahha.. Jujurlah. Intinya itu. Tapi setelah itu, kita berteman baik, bukan ada modus. Kita jalani hidup kita masing – masing. Walaupun kalau ingat malu. Iya malu, tapi, ada rasa lega dibaliknya.
3 tahun itu lama. Suka sama orang, bertahan menyimpannya, dan jujur ketika pisah alias lulus. Bayangin aja rasanya gimana. Hahha. Pahit. Enggak juga sih, manis.
***
Karena dari dulu prinsipku, bukan prinsip sih, tapi lebih naati aturan bahwa pacaran enggak baik, jadi aku enggak mau pacaran. Bahkan beberapa orang mengajak pacaran aku, tapi aku menolak. Serius aku menolak. Aku pasti jawab, tungguin aku kalau mau. Udah itu aja. Sampai akhirnya, entah, tiba – tiba aku pacaran aja. Serius aku pacaran. Tapi ini pacaran lucu juga. Sama pria pastinya. Dia pria baik, tapi ketika pacaran, pegang aku aja enggak pernah. Dia rajin ke Masjid. Intinya dia agamanya insyaAllah baik sih. Dan dia keren. Aku sering marah ketika dia enggak manggil namaku, karena, menurutku, memanggil panggilan sayang atau pa atau pi atau apalah, enggak baaik. Serius. Aku marah, hanya karena panggilan. Dan dia, sering banget aku tinggal tidur, alias ketiduran waktu telfon.
Inilah pacaran pertama ku ini juga pacaran terakhirku. Hahaha. Hanya saja, bertahan Cuma beberaa bulan saja, mungkin, 2 bulanan, aku ngajak putus karena aku mau di ajak nikah. Hahah. Padahal, dulu waktu sekolah, aku pingin banget nikah muda. Sedangkan ini sudah ada yang mau ngajak nikah aku putusin. Dasar bocah.
Jika menurut pengamatan, ini bisa dikatakan pacaran syar’i. Tapi, tetap aja, pacaran enggak bagus. Enggak baik buat kehidupan para anak muda yang belum nikah, termasuk aku.
***
Singgel 3 tahunan rasanya ya gini. Free banget. Bebas sesuka hati. Tapi, serius, sepi kalau temen – temen (lagi enggak lagi sih, pada sibuk lebih tepatnya) lagi ngurus hidupnya masing – masing. Jadi, kesepian , oh. Menyepikan. Eh menyedihkan.
But, bukan itu intinya. Intinya adalah aku menjaga, iya menjaga diri. Aku berusaha megikuti aturan yang dibuat oleh sang pencipta untuk tidak menjalin hubungan pacaran. Jadi sering kali menjauh atau menghindar dari para temen laki, karena takutnya ketika aku baikin mereka salah paham, di kira aku suka sama mereka.
Toh buktinya nyata. Beberapa bulan lalum eh lebih tepatnya tahun, setelah kau putus sama mantan pacar, (mantan? Emang apaan, enggak ada mantan kali. Bilang aja, teme deket yang menjauh. Ok?) ada pria yang mendekati aku. Ngomongnya sih ngajak pacaran, tapi aku, udah dasarnya enggak mau pacaran, karena tiap di ajak pacaran , diri ku protesm pacaran enggak baik, jadi kalau mau tungguin aku aja. Ok, dia ngajak pacaran, tapi aku nolak. Dia ngelunjak. Bersikap kasar ke aku, membatasi kehidupanku. Melarangku begini dan begitu. Bahkan dia berantem, ngajak berantem aku, hanya karena pesan dari temen. Menurtku, dia sebagai pria enggak nunjukin dirinya sebagai pria. Aku mengatakan begitu karena ketika dia memiliki masalah denganku, dia enggak berani ngomong jujur padaku, dia lebih marah – marah enggak jelas, enggak mau ngomong sama sekali. So, akhirnya, dia aku paksa duduk depanku, aku paksa menjawab, tapi dia tetap menjawab, it’ok. No problem.
Ketika dia jawab gitu ok, aku enggak masalah. Tapi kenyataannya, di balik itu, sesampainya dia di rumah, omongannya kasar, menunjukan dirinya adalah seperti itu, bisa dikatakan dia penakut. Payah. Pengecut atau apalah. Dia enggak beraningadepin aku secara langsung.
Selama kita deket, bisa dikatakan dia aktif ibadah, dia rajin ke masjid. Tapi, karena berantem karena masalah tadi, dan kita enggak pernah ketemu dia enggak pernah, eh jarang ibadah, sholatlah. Atau apa. Dia enggak pernah.
Jadi, apa yang dia lakuin selama ini, baik di depanku, hanyalah modus buat dapetin aku. Itu salah satu hal tergila, terkonyol yang pernah ada. Dan kenyataannya banyak yang ngelakuin hal ini demi bisa deket degan seseorang yang disukai. Tapi, aku enggak mengatakan semua loh, sebagain menurutku begitu.
Dari kejadian itu, eh, enggak itu aja sih. Lebih tepatnya aku bisa mengambil pelajaran dari kejadian ini, bahwa seseorang orang yang tulus, beneran suka, dia akan ngelakuin apa saja demi bisa deket, tapi enggak dengan cara modus, enggak dengan cara ngerubah dirinya jadi orang lain. Karena itu akan membuat orang yang di modusin itu ngerasa enggak nyaman dan akhirnya pergi.
Jadi menurut aku pribadi, ketika seseorang itu serius, dia akan mengatakan jujur, apa yang dia rasakan, apalagi pria, harusnya lebih gentle lah. Enggak pake acara modus. Masalah di tolak atau di terima urusan belakang. Intinya buktiin dulu, are you serius? . karena jawaban udah pasti, kamu harus nerima sebuah konsekuensi dari menyukai seseorang, NERIMO.
Jika kamu marah – marah, mungkin ada yang salah dari dirimu. Nafsu yang sudah membawamu suka sama dia, bukan karena kamu suka dengan tulus. Karena ketika orang yang disayangi itu seneng, harusnya kamu iku senang, karena yang terpenting adalah dia, yang di suka bahagia.
Sering, dapat protesan, pacaran aja, sama dia. Dia suka sama kamu. Pacaran aja, mumpung masih muda, jadikan pendekatan, saling ngenal antara satu dan lainnya, dari pada nyesel loh, pas nikah. Aku sering ketawa kalau dapat protesan ini. Karena menurut aku ya tadi, enggak boleh pacaran. Jadi, aku akan mengatakan enggak mau pacaran. Udah lelah pacaran itu. Bikin capek. Mending langsung nikah. Tapi, aku juga sering di protes, bahwa jangan gitu, maksudnya adalah aku enggak boleh langsung nikah, (yang ngomong bukan orang tua ya, tapi orang lain ) entar nyesel lo, kalo dia begini dan begitu, tapi kalo pacaran juga kadang enggak tahu sikap asli dari dia kok, apalagi enggak pacaran, enggak kenal banget kan jadinya.
Aku paham maksud mereka. Mereka memintaku untuk menjalin pacaran antara aku dan dia, agar aku enggak nyesel pas nikah salah pilih suami. Tapi, mau gimana lagi, udah dari awalnya aku mutusin langsung nikah, bahkan keputusan aku ini ketika aku masih sekolah. Jadi aku tetap ngeyel, maksudnya maksa bahwa aku enggak mau pacaran lagi, cukup sekali buat pengalaman, udah itu aja.
Sisi padang atau pemikiran dari aku dan si pemberi nasehat itu beda, baik keluarga (Bukan orang tua), temen bahkan temen yang beda agama. Tapi bukan berarti aku ngotot ke mereka bahwa agamaku ngelarang pacaran, jadi aku enggaka akan pacaran. Rasanya jika aku ngotot seperti itu, itu akan melukai orang lain yang memberi nasehat, dan akibatnya ke hubungan antara aku dan mereka. Jadi aku selalu membuat alasan bahwa aku udah dewasa, waktunya menjalin hubungan dengan pria si emang, tapi aku udah capek Cuma main pake status pacar, dan enggak punya hak lebih, yang isinya Cuma seneng enggak mendalam banget gitulo. Dan aktivitas kita terbatas enggak bisa lebih. Jadi intinya bosan dengan permainan – permainan dalam pacaran. Aku cari yang serius, yang siap untuk menikah.
Kenapa aku pakai alasan itu? Karena itu alasan terlogis yang bisa diterima oleh orang lain termasuk orang nonmuslim. Jadi, enggak sampai melukai orang yang kasi saran, biar mereka lain kali mau kasih saran lagi, intinya itu.
Masalah disiplinin diri untuk menolak pacaran cukup buat aku saja, atau buat mereka yang bener paham atau enggak akan marah atau putus hubungan silaturahimnya denganku karena nasehat buat enggak pacaran .
Kan enggak mungkinlah, setiap orang memiliki pemikiran yang sama dan keputusan dalam sebuah pilihan yang sama, jadi aku berusaha menghargai perbedaan dan menjauhi konflik, apalagi konflik yang enggk penting.
***
So? Pacaran?
Yes. Aku menginginkannya, dan jujur aku ketagihan pacaran. Serius. Ketagihan. Tapi, pacaran setelah aku udah nikah, yang mana dia 100% punyaku, dan aku berhak atas dia. Bukan Cuma punya – punyaan dan enggak ada ikatan.
Dan ,aku enggak perduli ketika orang ngomong kalau aku “Enggak Normal” hanya karena aku eggak memiliki pacar. Karena aku lebih fokus ke taat, kepada sang pencipta. Bukan ngikuti tren agar aku kekinian. Padahal trending topik yang keren adalah MENIKAH. BUKAN PACARAN.
And. Finally.
Penjelasanku tentang pacaran menurut pola pikirku. Hahaha. Berdasarkan otaku. Bisa jadi bertolak belakang dengan pola pikir kalian. Tapi, inilah aku. Say to "NO PACARAN". Jika memang pendapat ini menyinggung, silakan protes di hadapanku. Alias JUJUR. Bukan komplain di belakangku, hahahaha...pasti aku terima kok kritik dan saran demi menjadikan diriku lebih baik. Tapi, aku harus memperimbangkan kritikanmu juga..hehehhe
⚘
[caption width="640" align="alignnone"]
Sumber : pixabay.com[/caption]
Teka - teki. Aku menyebutnya demikian dan aku merasakannya juga demikian.
Aku sedang berpikir keras menjawab sebuah pertanyaan besar tentang aku. Aku merasa jawaban ini sudah ada, hanya saja, aku masih belum mengerti bagaimana cara mengotak - atik susunan kata yang telah disediakan-NYA.
Ini hari yang beda, dengan rasa sedikit sama dan samar, namun ada 1 rasa yang sama membuatku gelisah. Tak tenang nyatanya. "Apa Dia menghukumku? Apa aku banyak dosa? Apa aku masih salah niat? Atau aku kurang maksimal?" Sepintas aku merasakaj itu.
Tapi, disisi lain, aku gelisah memang, tapi hatiku dan pikiranku tak henti - hentinya berpikir bahwa niat-NYA baik. Tetapi, apa harus dengan cara ini? Ini salah. "Sabar? Nerimo? Atau memang hukuman?"
Aku masih enggak paham dan benar tidak paham. Padahal aku juga sdah berniat. Aku sidah berusaha, tapi.
Stop. Berhenti bicara dan menjalaninya dengan santai. Jika memang harus begitu mungkin iya, tapi, jika sudah melakukan kesalahan, pastinya hatimu tak tenang. Kau akan berpikir ribuan kali dan mencari jawaban yang tepat agar kau tak mengulanginya lagi.
Bukankah begitu?
Rasanya seperti mengerjakan teka - teki yang jelas - jelas jawabannya masih ada, tapi ku masih tak paham dengan jawabannya. Ya itu, seperti sebuah pertanyaan yang menanyakan bahasa asingnya, jika aku tak tahu, maka aku akan meraba - rabanya di tumpukan kamus hingga translate demi bisa menjawab pertanyaan itu.
Tetap berpikir apik saja, mungkin aku kurang maksimal, atau kurang serius. Mangkannya hasilnya masih kurang bagus. Dan percayakan saja dan serahkan saja kepada Sang pemilik diri, Dia lebih mengerti dibanding aku. Anggap saja, Dia menginginkanmu lebih baik lagi dengan cara yang beda.
Teka-teki, diatas yang hijau di antara yang biru di bawah putih.

Teka - teki. Aku menyebutnya demikian dan aku merasakannya juga demikian.
Aku sedang berpikir keras menjawab sebuah pertanyaan besar tentang aku. Aku merasa jawaban ini sudah ada, hanya saja, aku masih belum mengerti bagaimana cara mengotak - atik susunan kata yang telah disediakan-NYA.
Ini hari yang beda, dengan rasa sedikit sama dan samar, namun ada 1 rasa yang sama membuatku gelisah. Tak tenang nyatanya. "Apa Dia menghukumku? Apa aku banyak dosa? Apa aku masih salah niat? Atau aku kurang maksimal?" Sepintas aku merasakaj itu.
Tapi, disisi lain, aku gelisah memang, tapi hatiku dan pikiranku tak henti - hentinya berpikir bahwa niat-NYA baik. Tetapi, apa harus dengan cara ini? Ini salah. "Sabar? Nerimo? Atau memang hukuman?"
Aku masih enggak paham dan benar tidak paham. Padahal aku juga sdah berniat. Aku sidah berusaha, tapi.
Stop. Berhenti bicara dan menjalaninya dengan santai. Jika memang harus begitu mungkin iya, tapi, jika sudah melakukan kesalahan, pastinya hatimu tak tenang. Kau akan berpikir ribuan kali dan mencari jawaban yang tepat agar kau tak mengulanginya lagi.
Bukankah begitu?
Rasanya seperti mengerjakan teka - teki yang jelas - jelas jawabannya masih ada, tapi ku masih tak paham dengan jawabannya. Ya itu, seperti sebuah pertanyaan yang menanyakan bahasa asingnya, jika aku tak tahu, maka aku akan meraba - rabanya di tumpukan kamus hingga translate demi bisa menjawab pertanyaan itu.
Tetap berpikir apik saja, mungkin aku kurang maksimal, atau kurang serius. Mangkannya hasilnya masih kurang bagus. Dan percayakan saja dan serahkan saja kepada Sang pemilik diri, Dia lebih mengerti dibanding aku. Anggap saja, Dia menginginkanmu lebih baik lagi dengan cara yang beda.
Teka-teki, diatas yang hijau di antara yang biru di bawah putih.

Tidak ada yang tidak mungkin atau di bahasa inggrisin Nothing Impossible. Yah. Dua kata yang bermakna mendalam.
Sepasang kata yang mengobrak abrik pikiranku ini dan memaksaku untuk terus berjalan melanjutkan langkah. Bukannya aku tak percaya dengan sebuah ketidakmungkinan sebelum ku dengar sepasang kata ini, hanya saja setelah melihat beberapa film yang melibatkan ketidakmungkinan itu bisa saja terjadi karena percaya aku semakin yakin, bahwa nothing impossible itu pasti ada dan ada. Maybe, melalui film di ingatkan kembali, ketidakmungkinan itu ada. Toh, banyak cara sebuah pesan itu tersampaikan, terkadang sudah mengetahuinya hanya saja kurang memahami maksud pesab tersebut.
Memang benar, aku mempercayai-NYA. Aku selalu percaya DIA memiliki hal - hal di luar batas kemampuan manusi, tak mungkin saja bisa menjadi mungkin dengan kehendak-NYA. Sangat mudah DIA membuat ketidakmungkinan, hanya saja, apa kau percaya dengan kemungkinan tersebut? Apa kau yakin dengan kemungkinan tersebut? Apa kau bisa membuktikan bahwa nothing impossible itu nyata?
Jawabannya hanya 1. Lakukan saja dengan melibatkan keyakinanmu alias kepercayaanmu bahwa semua mungkin terjadi, but kau harus melibatkan-NYA jika kau ingin memperoleh hasil akhir yang amazing.
Percaya bahwa tidak ada yang tidak mungkin, percaya bahwa kau bisa melakukannya, percaya DIA akan selalu ada untukmu dan membantumu dengan cara-NYA yang tak mungkin itu.
So, begin with Bismillah and good pray. Libatkan DIA. Semua dari DIA dan kembali kepada-NYA. Nikmati setiap proses tanpa sedikitpun meninggalkan-NYA. DIA tahu yang terbaik, DIA tahu yang pantas untukmu, hanya DIA yang bisa membantumu membuat yang tak mungkin menjadi mungkin.
So, stay on the track. Keep on the truck. Believe Nothing impossible is real. ALLAH with you. Good luck!

Semua yang ada padamu memang dari-NYA, tapi bukan berarti kau seenaknya memperlakukan semuanya terserah tanpa aturan. Memang benar akhri dari perjalanan ini kau akan kembali pada-NYA bisa di bilang MATI, tapi bukan berarti itu menjadikanmu hanya hidup dan menjalaninya begitu saja tanpa makna.
Memang benar jika ada yang mengatakan " HIDUPMU PILIHANMU " atau kalau di translate ke bahasa Inggris agar lebih keren " YOUR LIFE YOUR CHOICE " . Setiap keputusan yang kau pilih akan menentukan masa depanmu seperti apa. Bukankah hal ini benar? Proses, usaha tidak akan pernah menghianati hasil. Itu semua tidak bisa dimanipulasi seperti laporan yang buktinya bisa digandakan, karena setiap proses yang kau jalani memberikan sebuah makna, sebuah pelajran baru untuk membentuk hasil dari yang kau mau.
Hidup di antara kenyamanan hidup memang enak, apalagi seorang anak kecil yang tak pernah merasa hidupnya susah hanya karena menginginkan sesuatu selalu saja di turuti, merengek sedikit bahkan menangis saja keinginannya dituruti oleh orang tuanya. Bukankah kondisi ini menjadikan mindset si anak menjadi meremehkan? Tak perlu berjuang bersusah payah maka dia sudah mendapatkannya.
Jika dipikirkan secara mendetail, kondisi ini akan menjadikan si anak susah di masa depannya. Bagaimana tidak, menurut persepsinya hidup ini mudah, dia hanya bergerak sedikit maka apa yang diinginkan bisa diperolehnya secara cepat dan instan. Sedangkan kenyataan yang ada, hidup ini keras bahkan berkali - kali lipat kerasnya jika dibandingkan dengan pemikirannya yang terbatas karena kebiasaannya tersebut.
Tragis memang jika hal ini terjadi pada anak, tapi inilah kenyataannya, ada yang mengalaminya, bahkan karena kondisi tersebut menjadikan dirinya mudah sekali meremehkan berbagai macam hal, seperti sebuah tugas, uang dan masa depannya. Padahal si Bunga ( bukan nama yang sebenarnya alias disamarkan) bisa dikatakan pandai dan memiliki banyak impian, tapi karena dia sudah terjebak dalam zona nyamannya dan tak mau keluar dari zona tersebut menjadikannya tidak berhasil bukan gagal dalam menjalani semua plan yang sudah di buatnya matang. Sederhana memang alasannya, meremehkan, menggampangkan setiap persoalan kecil yang sebenarnya pondasi dari mimpinya.
. . .
Sering kali aku tak mampu mengungkapkan, entah karena tak tega atau karena tak berani hingga takut bicara. Memang beda, rasanya mengungkapkan secara langsung menggunakan lisan atau dengan menggunakan huruf - huruf ini. Tapi, apalah daya, aku harus mengatakan dan mengungkapkan hingga menjelaskan secara detail tentang apa yang aku pikirkan tentang ini dan itu.
Namun, memang terkadang karena sebuah tulisan, emosi terbentuk begitu saja tidak sesuai dengan kenyataan ketika bicara langsung dan disinilah salah paham terjadi. Tapi, itulah perbedaan, setiap orang memiliki nyawa dengan pemikirn masing - masing. Mungkin benar jika di pikir hanya penulis aslinyalah yang mengerti apa maksud dari tulisannya, tapi kadang mereka hanya menulisnya saja tanpa paham makna tulisannya dibandingkan si pembaca. Bisa jadi kali ini dia hanya mengungkapkan pikiran - pikiran rumit yang dipikirkannya hingga dia tenggelam dalam pemikiran kacaunya.
Tulislah! Iya tulislah saja jika kau tak mampu mengungkapkan dengan kata. Jika mereka salah itu karena pemkiran mereka, tapi kau harus menerjemahkannya dengan bahasamu sebisamu ketika mereka bertanya. Bukan hanya diam dan membiarkan salah paham di lontarkan dari mulut kemulut karena maksud tulisan dari pemkiranmu.
Bisa dikatakan juga tulisan mewakili pemikiran, jadi bisa jadi dengan memcaba tulisanmu mereka akan paham apa yang kau pikirkan walaupun itu tak seutuhnya benar. Tapi itu sudah mewakili sebagian kata saja "Aku ingin bicara".
Namun, memang terkadang karena sebuah tulisan, emosi terbentuk begitu saja tidak sesuai dengan kenyataan ketika bicara langsung dan disinilah salah paham terjadi. Tapi, itulah perbedaan, setiap orang memiliki nyawa dengan pemikirn masing - masing. Mungkin benar jika di pikir hanya penulis aslinyalah yang mengerti apa maksud dari tulisannya, tapi kadang mereka hanya menulisnya saja tanpa paham makna tulisannya dibandingkan si pembaca. Bisa jadi kali ini dia hanya mengungkapkan pikiran - pikiran rumit yang dipikirkannya hingga dia tenggelam dalam pemikiran kacaunya.
Tulislah! Iya tulislah saja jika kau tak mampu mengungkapkan dengan kata. Jika mereka salah itu karena pemkiran mereka, tapi kau harus menerjemahkannya dengan bahasamu sebisamu ketika mereka bertanya. Bukan hanya diam dan membiarkan salah paham di lontarkan dari mulut kemulut karena maksud tulisan dari pemkiranmu.
Bisa dikatakan juga tulisan mewakili pemikiran, jadi bisa jadi dengan memcaba tulisanmu mereka akan paham apa yang kau pikirkan walaupun itu tak seutuhnya benar. Tapi itu sudah mewakili sebagian kata saja "Aku ingin bicara".
[caption id="attachment_562" align="alignnone" width="960"]

Layu.
Itulah yang ingin ku katakan saat ini. Rasanya seperti mawar - mawar ini awalnya. Mekar penuh dengan wewangian. Dan sekalrang, terasa layu, yamg tersisa hanyalah duri yang semakin mengeras dan menyakitkan jika mengenaiku.
Begitulah gambaran perasaan ini. Semua terasa mewah dan tak ada tandingannya. Tapi, semakin lama semakin layu. Mati tanpa akar dengan sejuta air. Bukan seuah kepalsuan. Tapi kenyaataan. Hidup tapi layu. Mati dan mati akhirnya.
Dia mulai layu dengan sejuta rindu yang perlahan pergi. Sirna dalam waktu yang berapa lama lagi. Sayang memang jika aku harus mengingat rasa wangi dan mekar yang alami di depan mataku. Tapi, Dia harus mati denagn ketulusan dengan keaslian itu dan binasa terbawa oleh masa depan. Dia mati. Mati karena perubahan.
Aku tak menyalahkan kau dia atau mereka, bahkan aku tak menyalahkan takdir. Tapi, memang ini takdirnya. Tak ada bahagia abadi dengannya. Hanya sesaat dengan modal tulus dan alami. Kita tak cocok. Air dan kau mawar tak kan pernah bersatu, walaupun awalnya terpaksa menyatu dan tumbuh. Tapi, perlahan kau pergi dengan waktu yang mengelilingimu.
Kini kau layu. Mati bersama waktu dan yang tersisa hanyalah duri yang menyiksa. Layu.

Kau salah. Kita berdua sedang tidak bertengkar. Jangan kau katakan itu lagi, hanya karena kau tak pernah lihat kami tertawa bersama. Jangan kau katakan itu lagi. Kau paham?
Hmm..tapi dia...
Stt...dia sedang sibuk dengan project nya. Dia sedang mengurus semuanya dan membuatnya baik baik saja. Jadi tak usah khawatirkan kami. Lagi pula. Kita juga tak pernah bertemu, mungkin hanya berbicara by phone atau chat untuk menyapa. Jadi kau jangan khawatir.
Aku khawatir, kau masih menyukainya.
Terimakasih sudah khawatir. Tapi aku masih menyukainya. Menyukainya sebagai kakak laki laki. Tidak lebih. Menyukainya sebagai sahabat. Menyukainya untuk di ajak bicara secara terbuka.
Iya. Aku tahu. Tapi. Bukankah dengan begitu kau akan semakin menyukainya. Tak bisakah kau menyukai pria lain?
Aku bisa. Aku sudah menyukai pria lain. Tapi hanya sebatas teman. Tak lebih.
Maksudku. Menyukainya sebagai pasangan.
Pasangan? Menikah belum, bagaimana aku harus menyukai pria itu seperti pasanganku? Bagaimana?
Mungkin, kau menyukainya dan sebaliknya dan kalian menikah.
Entahlah. Aku sedang meraba, siapa yanh sebenarnya hanya bicara ingin menikah, siapa yang hanya membual atau siapa yang tak terlalu banyak omong tiba tiba mendatangi waliku. Tapi entahlah.
Tapi, rasanya kau masih saja belum bisa move on darinya. Bukankah begitu.
Kau benar. Aku belum bisa melepaskan kata nyaman ini kepada siapapun. Entah. Kadang aku berfikir menginginkan dia tapi bukan dia.
Memangnya ada?
Ada. Itu berarti orang lain. Tak mungkin pria yang sama. Tapi setidaknya...
Setidaknya apa?
Rasanya tak usah ku katakan padamu. Ini tentang rasa.
Rasa cinta.
Rasa kopi pake coklat.
Memangnya ada?
Ada. Aku pernah membuatnya dengannya. Secangkir kopi dengan cokelat buatan ibunya.
Kau. Selalu saja membual sesukamu.
Sudahlah. Lebih baik aku membual denganmu dari pada ku harus memikirkan hatiku yang rumit ini.
Menggemaskan. Sangat menggemaskan. Rasanya aku ingin membunuhnya karena dia telah mencampakkanmu. Sedangkan kau masih saja kasi dia maaf. Bahkan kau menjadikan dia seorang teman. Jika aku jadi kau, aku akan marah dan tak akan menemuinya bahkan memaafkannya.
Menggemaskan. Memang menggemaskan. Begitukah?